Minggu, 10 Juli 2011

Teori Estetika dalam Arsitektur Perilaku

Teori Estetika dalam Arsitektur Perilaku 

Terkait dengan konsep perancangan arsitektur dimana dalam menciptakan suatu desain bangunan kita juga harus memperhatikan konsep –konsep arsitektur perilaku yang dalam tugas ini berkaitan dengan konsep estetika yang dituangkan oleh John Lang, teori estetika yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.      Estetika Formal
·         Nilai estetika yang terfokus pada objek, dalam kontribusinya terhadap respon estetis mengenai ukuran, bentuk, warna, ritme, sekuen visual, dsb.
2.      Estetika Sensori
·         nilai estetika sensori ditimbulkan dari suatu sensasi yang menyenangkan yang diperoleh dari warna, suara, textur, bau, rasa, sentuhan, dsb. yang dihadirkan dalam sebuah lingkungan yang diciptakan. Dengan kata lain estetika ini memperhatikan aspek fisiologis yaitu memunculkan sebuah ‘rasa’.
3.      Estetika Simbolik
·         Nilai estetika yang dihasilkan dengan cara memberikan kesenangan pada seseorang secara sosio-kultural.
4.      Estetika intelektual
·         sebuah karya arsitektur, tidak hanya membawa wujud fisiknya saja, tetapi juga dapat ‘mengajak’ penggunanya untk merasakan lebih ‘dalam’ lagi makna arsitektural objek tersebut melalui beberapa aspek estetika seperti yang telah disebutkan di atas.

Kemudian untuk mendukung teori estetika tersebut dalam sisi bagaimana pengguna dari karya desain arsitektur yang kita rancang tersebut akan menerima atau memproses persepsinya terkait efek dari pengalaman estetika yang dialaminya maka kita dapat memadukannya dengan teori yang dikemukakan oleh Robert G. Hershberger mengenai bagaimana seorang arsitek harus mampu memperkirakan bagaimana pengguna dari karya arsitekturnya akan berperilaku sebagai akibat dari pengalaman akan ruang dan estetika yang diterimanya, prinsip dari teori tersebut adalah sebagai berikut :

Teori Makna Arsitektur oleh Robert G. Hershberger


Mengungkapkan makna dalam arsitektur dapat dibagi menjadi :
2 kategori yang merupakan dasar dari pengertian arsitektur dimana arsitek harus sadar akan :

1.      Representational meaning
Lingkungan sekitar yang mempengaruhi arsitektural harus diketahui, ini mewakili organisme manusia sebagai persepsi, idea.
2.      Responsive meaning
·      Terdiri dari tanggapan individu yang sudah direpresentasikan secara individu, meliputi respon perasaan, evaluasi, atau menentukan sesuatu. Menampilkan keadaan lingkungan sekitar atau ide yang muncul sebagai apa yang seharusnya dilakukan.
·      Terdapat perbedaan diantara pengertian arsitektural diatas yaitu responsive meaning tergantung pada representational meaning.

Dua pengertian diatas antara representational meaning dan responsive meaning sangat penting untuk menentikan perkiraan prilaku. Arsitek pertama harus mengerti secara baik terhadap representasi dimana pengguna dalam bangunannya akan terbentuk, arsitek harus mampu mempelajari penggunan bagaimana beraktivitas terhadap apa yang mereka representasikan, arsitek juga harus mampu membuat perhitungan yang masuk akal bagaimana pengguna akan berprilaku pada bangunannya.



Dari dua kategori pengertian arsitektur diatas terdapat beberapa sub-kategori pengertian yang berguna untuk membedakan perkiraan arsitektural antara lain :

·      Representational meaning dapat disimpulkan 2 kategori utama yaitu
1.    Presentational meaning
·      Bentukan arsitektural dalam kasus ini harus dapat menjelaskan kepada penonton dalam hal ini klien dan pengguna, bentukan ini seharusnya tidak muncul sebagai sebuah tanda saja karena representasi membangkitkan tidak hanya pengalaman bentuk sebelumnya tetapi hasil pengamatan dari bentukan.
·      Seharusnya terbentuk secara ikonik merepresentasikan secara struktural yang sama terhadap hasil pengamatan bentukan.
·      Objek representasinya dapat berupa bentuk, tekstur, warna, dan lain sebagainya.
·      Bentukan disini dapat dikategorikan sebagai ukuran, organisasi, kekuatan, tekstur, dimensi ruang, dan potensi yang ada.
2.    Referential meaning
·      Bentuk kali ini bertindak sebagai sebuah tanda atau simbol dari beberapa objek atau kegiatan lainnya, contoh yang tepat adalah berupa “kata-kata” kaitannya dengan bentuk dalam arsitektur hal ini sering kali menjadi hal penting sebagai referensi.
·      Yang paling mendasar level dari referential meaning adalah pengakuan dari kegunaan (use, purpose, or value), dari kegiatan bagaimana memfungsikan dalam sebuah bangunan. Ini merupakan hal utama dimana ruang, bentuk, dan warna dari bangunan dapat dibaca penggunaannya.

Dalam kasus perkiraan dalam arsitektur perbedaan antara presentational dan referential meaning adalah seberapa besarnya hal yang penting dalam sebuah perdebatan kesulitan dalam memprediksi kesulitan desain.

·      Responsive meaning terdapat 3 kategori yaitu
1.    Affective meaning
·      Pertama ketika representasi telah terbentuk sebaiknya memiliki respon individu lebih lanjut yang dihubungkan dengan representasi , respon ini dimaksudkan sebagai “affective meaning”.
·      Bangunan harusnya mempunyai kombinasi yang tepat dari garis, warna, dan tekstur.
·      Affective meaning juga mempelajari respon yang berdasarkan pengalaman, jika arsitek tidak  memasukkan  unsur nilai budaya dari para pengguna terhadap bangunannya dia tidak akan bisa memprediksi bagaimana desainnya akan  berdampak pada “users”.
2.    Evaluative meaning
·      Nilai, kriteria, standard atau tingkah laku dimana pengalaman sebelumnya yang telah dimiliki membawa arsitek untuk fokus dalam representasi  dan mengingatkan pengguna apa yang arsitek simpulkan bahwa bangunan adalah nyaman dan tidak nyaman, bagus dan tidak bagus, disini arsitek bertujuan menilai kembali apa yang menjadi tujuan utama dan memutuskan kebijakan tertentu.
·      Tidak dimungkinkan membuat suatu desain tanpa memuaskan semua pengguna.
3.    Prescriptive meaning
·      Arsitektur biasanya prescriptive (bersifat menentukan) dalam arti untuk menentukan sesuatu yang dibuat masuk akal atau nyaman dari pengaturan sebuah bentukan.
·      Prescriptive meaning sering kali dapat diperhitungkan dari pengertian sebelumnya dimana arsitek seharusnya dapat mengenal langsung apa kegunaannya dalam bangunan yang akan dirancang.

Pengertian Responsive dan Representational Meaning Secara Singkat

Makna Representasional terbagi atas
·      Makna presentasional : Makna yang didapat tidak berbentuk verbal, melainkan berupa ikon
·   Makna referensional : Penghayatan terhadap simbol bagi obyek atau peristiwa / kegiatan, penghayatan yang terjadi melalui bentuk, tekstur, warna, status, ukuran, dan atribut lain

Makna Responsif
·      Makna Afektif : Perasaan dan emosi seseorang ketika melihat suatu bentuk bangunan. Respons ini didasari oleh pengalaman dan budaya pengguna
·    Makna Evaluatif : Penghayatan seseorang terhadap representasi dan emosi seketika berdasarkan kompetensinya
·  Makna Preskriptif : Penghayatan seseorang untuk melakukan sesuatu setelah menglihat dan mengevaluasinya sistem Komunikasi melalui komponen bangunan

Teori Hubungan Psikologis antara Manusia dengan Lingkungannya



Dari diagram diatas dapat dijelaskan bahwa terdapat hubungan sebagai berikut :

·         Behavioral response sebagai overt
Kaitannya dengan prilaku nyata dari arsitek dalam menentukan prediksi dari sebuah permasalahan desain.
·         Response / responsive meaning sebagai covert
Dalam responsive meaning terdapat use, purpose, or value sebagai perilaku tersembunyi yang harus diketahui oleh arsitek untuk menciptakan solusi permasalahan desain.
·         Representation meaning sebagai perception
Merupakan gambaran dari prediksi solusi desain.
·         Stimulus object sebagai schemata
Kaitannya dengan ide dan pengalaman.

Dari penjabaran teori di atas kita dapat memahami bahwa perilaku manusia dalam mempersepsi pengalaman yang didapat oleh dirinya melibatkan pengalaman dan pengetahuan yang telah didapat sebelumnya juga dipengaruhi oleh karakter dan kemampuan yang dibawanya sejak lahir. 
Dan dengan mengetahui pola perilaku yang mempengaruhi manusia tersebut kita dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan efek perilaku yang kita inginkan pada pengguna atau penghuni karya arsitektur yang akan kita rancang tersebut. Efek dari perilaku tersebut ada yang bersifat nyata dan dapat kita lihat serta prediksi secara langsung (overt) namun ada perilaku yang tidak dapat kita ketahui secara langsung karena merupakan aspek personal dari pengguna desain arsitektur tersebut (covert). 
Namun dengan mengetahui aspek kebudayaan dan kebiasaan serta kebudayaan masyarakat setempat kita mampu mengolah proses dan perilaku yang akan terjadi pada pengguna bangunan sesuai desain yang berbasis perilaku sesuai teori yang telah diterangkan di atas.

Studi Kasus Pembahasan Karya Arsitektur Berdasarkan Teori Arsitektur Perilaku

Untuk studi kasus ini penulis akan membahas bangunan museum karena bangunan bertipe museum dalam proses desainnya memerlukan pemikiran rancang berbasis perilaku yang cukup intens untuk mengarahkan pengunjung agar dapat merasakan pengalaman yang diinginkan oleh arsitek museum tersebut.
Museum yang akan dibahas dalam studi kasus ini adalah musem Sampoerna atau House of Sampoerna sebuah museum keluarga yang elegan, berlokasi di Taman Sampoerna 6, Kota Surabaya, Jawa Timur. Gedung Museum House of Sampoerna berada di dalam sebuah kompleks bangunan luas yang dimiliki oleh keluarga Liem Seeng Tee‚ pendiri HM Sampoerna, sebuah pabrik rokok kretek besar berbasis di Surabaya yang membuat merk premium Dji Sam Soe dan beberapa merk rokok kretek lainnya.
Saat masuk kedalam kompleks Taman Sampoerna kita akan langsung disambut dengan langgam arsitektur yang berlanggam kolonial namun terdapat detail sentuhan khas Tionghoa di beberapa sudut bangunan tersebut. Setiap bangunan museum terutama yang berkaitan dengan sejarah pastilah mempunyai tujuan untuk membawa kita kepada nuansa atau pengalaman akan memori yang berkaitan dengan jaman objek yang dipamerkan pada museum tersebut. 



Gambar di atas merupakan pintu masuk utama pada Museum Sampoerna. Pada desain ini kita dapat melihat adanya kolom-kolom yang melambangkan produk utama PT. Sampoerna yaitu Rokok Kretek Dji Sam Soe. Pada awalnya kolom tersebut berlanggam Ionic, yang kemudian berlanggam Doric hingga akhirnya saat House of Sampoerna dibangun berubah menjadi saat ini dengan penambahan logo Dji Sam Soe (bangunan ini awalnya merupakan panti asuhan yang didirikan oleh Belanda pada tahun 1864) 

Kemudian setelah dibeli oleh pendiri Sampoerna yaitu Liem Seeng Tee, maka bangunan Belanda tersebut mengalami sedikit perubahan. Bangunan utama tersebut dijadikan sebagai theater Sampoerna dimana setiap malam memutar film-film populer dimasa itu.



Rupanya pada jaman tersebut Liem Seeng Tee telah mengaplikasikan Konsep Representational dengan sangat baik, yang bertujuan untuk menjadikan pabriknya sebagai ikon produsen rokok ternama di kota Surabaya.  
Makna Presentational (Makna yang didapat tidak berbentuk verbal, melainkan berupa ikon) dihadirkan melalui simbol huruf china keluarga Sampoerna secara mencolok pada bagian atas pintu masuk. sedangkan Logo tipografi bertuliskan Sampoerna dan piktografi berupa tiga tangan yang menghadap ke tiga arah dengan warna merah menyala merupakan aplikasi Makna referensional (Penghayatan terhadap simbol bagi obyek atau peristiwa/kegiatan, penghayatan yang terjadi melalui bentuk, tekstur, warna, status, ukuran, dan atribut lain).


Pada hakikatnya pihak Sampoerna merupakan keluarga yang sangat familiar dengan budaya simbol. Dalam buku sejarah Sampoerna yang diceritakan oleh Michelle Sampoerna (Generasi ke empat trah Sampoerna), simbol tangan tersebut mempunyai makna adanya hubungan mutualisme yang harus terjalin diantara Produsen, Distributor dan Konsumen dimana produsen harus memberikan produk kualitas terbaik, distributor akan mendapatkan margin keuntungan yang cocok dan produk tersebut akan terus dicitrakan dengan baik oleh produsen agar masyarakat dapat terus membeli dan mempercayai produknya dengan cara memberikan harga yang wajar atas kualitas produk sesuai kemampuan konsumen.

 
Kebiasaan Sampoerna untuk menggunakan simbol tidak berhenti pada pembuatan logo perusahaan namun juga diterapkan ke pembungkus rokok Dji Sam Soe (pada saat itu produk pabrik tersebut hanya satu macam saja). Penerapan lambang-lambang ini menghadirkan ingatan dan kesan tersendiri bagi konsumen rokok tersebut. Dan ingatan akan objek grafis yang tertuang pada pembungkus tersebut dalam jangka panjang bagi pecandu rokok bisa jadi menimbulkan hubungan emosional tersendiri. 
Contoh penerapan simbol-simbol tersebut dapat kita lihat dengan jelas pada produk Dji Sam Soe. Meskipun tidak semua orang dapat memahami makna logo dan gambar yang terdapat pada bungkus Dji Sam Soe tersebut akan tetapi gambar yang selalu dilihat dalam kemasan tersebut dalam jangka waktu lama akan tersimpan pada memori jangka panjang.


Dan saat Museum House of Sampoerna ini didirikan, tentunya ingatan kolektif selama beberapa belas atau puluh tahun tersebut akan terbangkitkan.
Peristiwa tersebut dapat kita katergorikan sebagai salah satu Makna Responsif yang termasuk dalam kategori Makna Afektif (Perasaan dan emosi seseorang ketika melihat suatu bentuk bangunan. Respons ini didasari oleh pengalaman dan budaya pengguna). 
Makna yang ditimbulkan ini dapat dibangkitkan dengan menstimulus otak melalui penghadiran objek-objek yang diulang dalam berbagai cara. Dalam kasus museum Sampoerna penghadiran atau perulangan objek-objek tersebut dapat kita saksikan pada banyak ragam. Mulai dari dekorasi furnitur, corak mozaik pada kaca pintu, railing pada sudut pintu dan jendela hingga penjelasan sejarah logo tersebut tercipta pada Museum House of Sampoerna.
Ragam corak perulangan dapat kita saksikan pada berbagai desain yang ditampilkan baik pada ruang Museum House of Sampoerna maupun Café yang terletak pada sisi timur kompleks bangunan Taman Sampoerna.

Gambar diatas menunjukkan pengulangan simbol-simbol yang berkaitan dengan segala hal mengenai rokok dan keluarga sampoerna, mulai dari monogram berupa dari pola abstrak huruf LST (Liem Seeng Tee) yang saling tumpang tindih, simbol dalam huruf china yang mewakili nama keluarga Sampoerna, logo tiga tangan yang menjadi logo utama pabrik Sampoerna, dekorasi pola bunga tembakau, hingga pola bintang yang terbuat dari sembilan biji cengkeh dimana pola tersebut mewakili dua kepercayaan yang dipegang keluarga Sampoerna bahwa 9 merupakan angka keberuntungan dan kemakmuran serta bintang yang menjadi lambang kemuliaan, juga simbol medis karena cengkeh yang menjadi salah satu bahan utama racikan tembakau dipercaya mempunyai kemampuan medis untuk melegakan pernapasan. Dekorasi-dekorasi tersebut saling mendukung satu sama lain menciptakan kisah tersendiri bagi keluarga Sampoerna, karyawan, maupun pengunjung yang telah akrab dengan budaya kretek Sampoerna pada awal tahun 1932 sampai saat ini.
Disinilah dapat kita lihat peran arsitek dan desainer interior yang merancang Museum House of Sampoerna untuk memadukan budaya kretek yang meliputi produsen, distributor hingga konsumen yang telah berjalan selama 73 tahun (1932-2005) menjadi suatu potensi untuk menghadirkan kesan tersendiri  atas memori yang telah terjadi hingga empat generasi. 


Penerapan teori estetika Estetika Formal (Nilai estetika yang terfokus pada objek, dalam kontribusinya terhadap respon estetis mengenai ukuran, bentuk, warna, ritme, sekuen visual, dsb.) hadir pertama kali berupa kolom-kolom Doric yang menyerupai batang rokok Dji Sam Soe pada gerbang utama Museum.  Sepintas bagi konsumen yang telah lama menjadi konsumen produk rokok tersebut bentukan kolom akan menjadi bentukan empat batang rokok raksasa. Makna Representasional yang dapat dihadirkan adalah kesan yang kuat terhadap bayangan bekas pabrik rokok (Makna Presentational), juga Makna Referensional yang ditunjukkan melalui kesan megah yang telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda melalui langgam bangunannya yang ditunjukkan oleh bentukan kolom Doric, warna monokromatik pada bangunan, status kebesaran pemilik pabrik yang ditunjukkan dengan karakter huruf cina merah besar yang berarti raja pada bagian atas pintu masuk museum.
Berlanjut hingga ke ruangan dalam museum ini kita akan disuguhkan kepada pernak-pernik dan objek yang dibagi tiap ruang berdasarkan urutan waktunya. Pada ruang pertama kita langsung dihadapkan pada diorama dengan skala 1:1 yang menggambarkan lapak Siem Tjiang Nio (istri pendiri Sampoerna Liem Seeng Tee) yang biasa beliau gunakan untuk menajajakan kebutuhan sehari-harinya pada tahun 1912. Di samping lapak tersebut juga dapat kita saksikan semacam tungku yang sebesar rumah berlantai satu, pada saat ini digunakan untuk mengolah daun tembakau. Bila kita dekati diorama tersebut dapat kita cium bau wangi tembakau dan cengkeh yang berasal dari tumpukan tembakau yang belum dilinting dan cengkeh yang terdapat pada karung disamping lapak istri Siem Tjiang Nio berdekatan dengan sepeda yang biasa digunakan oleh Liem Seeng Tee untuk mengambil barang dagangan berupa tembakau dan cengkeh



Photo di atas menunjukkan gambaran aktual ruangan pertama pada museum tersebut. Ruangan di atas mengutamakan Estetika Sensori (nilai estetika sensori ditimbulkan dari suatu sensasi yang menyenangkan yang diperoleh dari warna, suara, textur, bau, rasa, sentuhan, dsb. yang dihadirkan dalam sebuah lingkungan yang diciptakan. Dengan kata lain estetika ini memperhatikan aspek fisiologis yaitu memunculkan sebuah ‘rasa’) perpaduan wewangian yang ditimbulkan oleh cengkeh serta tembakau berikut tekstur warna dan ragam bentuk dagangan organik Siem Tjiang Nio yang disusun begitu rupa sehingga dapat membawa imajinasi kita kedalam masa lalu dimana awal mula kehidupan pendiri Sampoerna dilalui dengan kerja keras. Disini pengguna akan diajak untuk melalui proses yang melibatkan Makna Evaluatif (Penghayatan seseorang terhadap representasi dan emosi seketika berdasarkan kompetensinya) saat berhadapan dengan berbagai macam objek yang akan menggugah referensi tentang objek yang ada di hadapannya tersebut.
Berlanjut menuju ruangan selanjutnya aspek sensorik kita perlahan tidak terlalu diolah lagi, melainkan berisi objek-objek kenangan tentang kegiatan Pabrik Sampoerna dalam rentang empat generasi tersebut sebelum akhirnya diakuisisi oleh Philip Morris. Objek di ruangan-ruangan berikutnya berupa koleksi perlatan pembuat rokok yang dimiliki oleh Sampoerna dari waktu ke waktu, kemudian terdapat juga kostum yang digunakan oleh karyawan Sampoerna sewaktu dalam pembuatan iklan kolosal bagi soft advertising (iklan yang tidak menunjukkan objek produk secara langsung) Sampoerna. Serta lapak tradisional warga kebanyakan yang menjual berbagai rokok produksi Sampoerna. Selain itu juga terdapat wahana layar interaktif yang menyajikan iklan Sampoerna dari waktu ke waktu.





Pada ruangan-ruangan lain ini terlihat kesan bahwa tatanan museum memberikan kebebasan bagi pengunjung untuk beralih dari satu ruang ke ruang lainnya dengan bebas. Proses makna estetis yang didapat oleh pengunjung di ruangan ini adalah tahap Estetika Simbolik (Nilai estetika yang dihasilkan dengan cara memberikan kesenangan pada seseorang secara sosio-kultural.) dan tahap Estetika intelektual (sebuah karya arsitektur, tidak hanya membawa wujud fisiknya saja, tetapi juga dapat ‘mengajak’ penggunanya untk merasakan lebih ‘dalam’ lagi makna arsitektural objek tersebut melalui beberapa aspek estetika seperti yang telah disebutkan di atas.).



Pendekatan Simbolik ada pada konsep penyajian berbagai koleksi rokok yang di pajang dalam lemari antik di salah satu sudut museum. Disana kita dapat melihat berbagai jenis produk Pabrik Sampoerna. Rokok yang selama ini diproduksi oleh pabrik tersebut ternyata tidak hanya menjangkau kalangan masyarakat Indonesia saja, namun juga negara-negara lain di berbagai penjuru dunia. Bagi komunitas masyarakat perokok tentunya terdapat kesenangan tersendiri ketika menyaksikan koleksi ini. Salah satunya ditunjukkan oleh Djoko Santoso dalam blognya (http://djokosantoso.com/2007/10/house-of-sampoerna/) bahwa ketika menyaksikan koleksi tersebut ada keinginan untuk mengkoleksi ragam pembungkus yang terdapat pada kemasan bagi pasar luar negeri tersebut. Bukankah ini bukti bahwa dengan memberikan hiburan gratis (untuk mengunjungi museum ini tidak dipungut biaya) kepada kalangan pecinta rokok maka akan menambah kecintaan dan sisi emosionalitas komunitas tersebut untuk makin fanatik terhadap merek Sampoerna.




Setelah melalui berbagai tahapan ruang-ruang dalam museum maka pada lantai dua pengunjung akan dibawa menuju suatu ruangan dimana pada salah satu sisinya terdapat kaca dalam bentang yang cukup lebar. Pada kaca tersebut kita dapat menyaksikan proses pelintingan tembakau menjadi produk rokok merek Dji Sam Soe. Pertunjukan ini hanya dapat disaksikan pada waktu-waktu tertentu. Tentunya pengunjung juga dapat turut serta mencoba alat yang digunakan oleh para pekerja di Pabrik mini tersebut. Interaksi ini cukup menarik dan pada akhirnya pengunjung akan mendapatkan pengetahuan yang cukup lengkap tentang sejarah kisah berdirinya Sampoerna (tahap pemaknaan estetika Intelektual).




Kesimpulan Pembahasan Studi Kasus Objek Studi Museum House of Sampoerna

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa tahapan-tahapan yang dilakukan oleh Museum Sampoerna agar pengunjungnya mampu menyerap dengan baik apa yang ingin disampaikan oleh Museum tersebut adalah dengan tahapan yang paling sederhana melalui aspek estetika formal kemudian perlahan menginjak kepada penggunaan citra sensorik untuk menggugah kesan pertama pengunjung, dilanjutkan dengan proses yang melibatkan tahap evaluasi bagi pengunjung yang dengan cermat menikmati objek pamernya, diteruskan pada tahapan simbolik yang lebih emosional dengan melibatkan ketertarikan komunitas perokok pada produk-produk Sampoerna, hingga akhirnya setelah pengunjung mengetahui mengenai sejarah, lika-liku kehidupan pendirinya, alat dan produk yang terlibat didalam pabrik tersebut ditindaklanjuti dengan interaksi yang melibatkan pengunjung untuk ikut dalam salah satu tahapan proses produksi rokok andalan Sampoerna yaitu Dji Sam Soe. 
Pada akhirnya seluruh referensi yang telah didapatkan pengunjung melalui proses bercerita yang bertahap (melalui urutan ruang objek pamer) akan terjalin menjadi satu kesatuan informasi yang utuh. Tahapan terakhir ini akan dapat memberikan kesempatan bagi pengunjung agar dapat merasakan dan mengetahui dan mengenal lebih dalam tentang budaya dan usaha perusahaan Sampoerna.
Hingga akhirnya mampu membawa kebanggaan dan penanaman memori  tersendiri bahwa di Indonesia khususnya Surabaya terdapat satu perusahaan yang mampu membawa kebanggaan lokal didalam pecinta rokok, karyawan dan orang-orang yang terlibat dalam pabrik tersebut pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dan semua langkah tersebut dapat dikaji dan dianalisa pada tahap awal secara sistematis dan terorganisir menggunakan pendekatan rancang berbasi perilaku. Utamanya menggunakan pendekatan teori estetika oleh John Lang dan teori Teori Makna Arsitektur oleh Robert G. Hershberger.
Sumber Pustaka

1.      Amiranti, Sri : Catatan Kuliah Arsitektur Perilaku tahun 2011. S-2 ITS. 2011
2.  Hersberger.Robert G: Predicting the Meaning of Architecture. In Designing for Human Behavior. Stroudsburg. DH and Ross.1974
3.    Sampoerna, Michelle ; Hollingsworth Gessler, Diana : The Sampoerna Legacy, a family & business history. Putra Sampoerna Foundation Press. 2007
4.      Lang, Jon : Creating Architectural Theory: The Role of the Behavioral Sciences.
5.      http://amirantiarsits.blogspot.com/2011/06/estetika-dalan-arsitektur-perilaku.html
6.      http://thearoengbinangproject.com/2010/08/wisata-sampoerna/
7.      http://djokosantoso.com/2007/10/house-of-sampoerna/
** Sumber ilustrasi sketsa cat air Sampoerna : Sampoerna, Michelle ; Hollingsworth Gessler, Diana : The Sampoerna Legacy, a family & business history. Putra Sampoerna Foundation Press. 2007